Rabu, 07 Maret 2018

PERDAGANGAN BEBAS


“Pengaruh Mea terhadap Indonesia”

oleh Elisa Nuraini

Perdagangan bebas merupakan proses kegiatan ekonomi antarnegara tanpa adanya kerumitan aturan atau birokrasi yang mengatur perdagangan bebas itu dalam suatu negara.

Dengan demikian, baik negara, perusahaan, atau perorangan sekalipun dapat menjual produk yang diciptakannya di luar negeri. Begitu pula sebaliknya, negara lain pun dapat menjual produknya di dalam negeri Indonesia sehingga konsumen dapat mendapatkan barang-barang berkualitas internasional dengan mudah dan dengan harga yang relatif terjangkau.

Dengan tidak adanya hambatan yang diterapkan pemerintah dalam melaksanakan perdagangan, tentunya ada kebebasan aturan, cara, dan jenis barang yang dijual. Oleh karena itu, munculah persaingan dagang yang ketat, baik antarindividu atau perusahaan yang berada di negara berbeda, yaitu yang kita kenal dengan istilah ekspor dan impor atau proses penjualan dan pembelian yang dilakukan antarnegara.

Di samping itu, dengan adanya perdagangan bebas, maka sejumlah faktor yang pada awalnya menghambat perdagangan bebas dihilangkan. Tidak akan ada lagi pajak, tarif, dan kuota impor, seperti, subsidi, keringanan pajak, dan bentuk-bentuk dukungan kepada produsen dalam negeri.

Sederhananya, perdagangan bebas memungkinkan perusahaan asing untuk berdagang dengan efisien, mudah, dan efektif seperti produsen dalam negeri.

Ide di balik perdagangan bebas adalah bahwa hal itu akan menurunkan harga barang dan jasa dengan mendorong kompetisi. Produsen dalam negeri tidak akan lagi dapat mengandalkan subsidi pemerintah dan bentuk bantuan lainnya, termasuk kuota yang pada dasarnya memaksa warga untuk membeli dari produsen dalam negeri, sementara perusahaan asing dapat membuat terobosan di pasar baru ketika hambatan perdagangan diangkat. Selain mengurangi harga, perdagangan bebas juga seharusnya mendorong inovasi karena persaingan antar-perusahaan memicu kebutuhan untuk datang dengan produk inovatif dan solusi untuk merebut pangsa pasar.

Indonesia merupakan salah satu negara yang dewasa ini sedang melakukan kegiatan perdagangan bebas, yaitu Masyarakat Ekonomi Asean (Mea) atau Asean Economic Community (AEC) yang merupakan sebuah integrasi ekonomi Asean dalam menghadapi perdagangan bebas antar-negara-negara Asean yang telah diberlakukan pada akhir 2015 lalu. Ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.

Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja professional, seperti, dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al-Ghifari, M. Ridwan Caesar, S.I.P., M.A.P. berpendapat bahwa dengan adanya Mea ini, maka persaingan antara sumber daya manusia lokal dan internasional tidak dapat dielakkan.

“Dengan adanya Mea ini, maka akan terjadi persaingan yang ketat antara sumber daya manusia lokal dan internasional sehingga Indonesia harus mampu memiliki strategi yang efektif dalam menghadapi persaingan. Misalnya, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, bahasa, terutama bahasa inggris, juga pendidikan,” ujarnya ketika ditemui dalam acara Pelantikan Pejabat Struktural Universitas Al-Ghifari (25/09/2017).

Lemahnya sumber daya manusia menjadikan kualitas sumber daya manusia Indonesia masih di angka rendah. Hal ini disebabkan karena lemahnya angka pendidikan di Indonesia.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada, mengumumkan bahwa hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, ada temuan menarik.

Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal, seperti, pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya.

Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) dan tidak memiliki ijazah (30,7 persen). Meskipun demikian, rencana untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yang menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.

Peneliti PSKK UGM Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. mengatakan dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespon perubahan komposisi demografi. (Penulis adalah mahasiswa Fisip, Universitas Al-Ghifari, Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar